(Part IV)
Drama kisah
tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad
melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini
berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Kaetika Amr kembali ke
kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju
desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh
atau terluka.
Ketika pasukan
'Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada 'Amr,
“Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan
menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan.
Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk
memberikan putriku pada orang gila itu”. Majnun mendengar pertempuran itu
hingga ia bergegas kesana.
Di medan
pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit
dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka
dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka. Amr
pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu
pasukan musuh, Majnun menjawab, "Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku.
Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?" Karena sedemikian bersimpati
kepada Majnun, 'Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini.
Apa yang dikatakan
ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan
pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan
sepatah kata pun kepada Majnun. Laila semakin merana dalam penjara kamarnya
sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman
bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang
bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya.
Tanpa
menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati
karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya,
ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia
mengatakan kepada ayahnya, "Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan
orang itu." Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas
ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam
waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir
juga.
Akan tetapi,
Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. "Aku
tidak akan pernah menjadi seorang istri," katanya. "Karena itu,
jangan membuangbuang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih
ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia." Sekalipun mendengar
kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya
beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak
mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar
tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama
berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu
biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di
sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak
berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan
batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apaapa, ia pun terus tinggal di
reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi
semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh
ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya:
“Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu
hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau
telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada
seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan
memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai
jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional.
Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, "Dalam hidupku, aku tidak bias
melupakanmu barang sesaat pun.
Kupendam cintaku
demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan
cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau
membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” .
“Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan
seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku,
kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.
Bersambung…
0 comments:
Posting Komentar