(Part V)
Tahun demi tahun
berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan
bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi
gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan
serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang
kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila
dengan ranting di atas tanah. Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara
hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga
tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya.
Sebaliknya,
Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun
ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak
mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi
merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak
menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua
orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia
tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.
Tak sepatah kata
pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun
dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam
jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan
lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia.
Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang
mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia
menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.
Selama
bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja
ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih
satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya.
Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang
jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin
membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan
dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam.
Bagaimana ia
bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun
semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya,
penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti
kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun.
Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya!
Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang.
Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil
mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin,
dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil
bergumam, Majnun…Majnun..Majnun.
Kabar tentang
kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita
kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh
pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama
beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa
Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah.
Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota .
Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.
Ketika tidak
ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia
meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan
tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun.
Belum sampai
setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi
kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila.
Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad
Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin.
Ia pun dikubur
di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian,
kini bersatu kembali. Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi
melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh
kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada
Majnun, "Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila,
sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?" Sang Sufi pun bangun dalam
keadaan gelisah.
Jika Majnun
diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa,
ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu
pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban
kepadanya, "Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan
segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri."
Sumber: Negeri Sufi ( Tales
from The Land of Sufis )
…TAMAT…
0 comments:
Posting Komentar