Oleh Mohammad Arfani
(224) dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat (225)Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara ditiap lembah (226)Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)? (227)Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapatkan kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali
(QS. Asy Syu’ara. 224-227)
Satu
Sebenarnya judul artikel ini adalah penyair (sudah) mati, tapi untuk sopan-sopanan maka terukirlah judul diatas. Sebuah kondisi yang pahit bahwa wong kito sepi penyair-penyair muda. Fenomena ini seakan terkondisi karena banyak penyair-penyair muda yang berproses kurang matang di dunia kepanyairan atau mereka malas berkarya juga diangkat kepermukaan. Sungguh, ketika saya berbincang-bincang dengan salah seorang teman seniman yang sempat berproses di Yogyakarta selama lima belas tahun dan ‘pulang kampung’ mengeluhkan kondisi ini (termasuk saya), dan akhir dari pembicaraan kami mengerucut pada kepenyairan bahkan kesenimanan telah berada di menara gading, hanya cahaya di mercusuar. Dan fenomena ini setingkat dengan salah satu fenomena alam yang sangat saya benci..yaitu fenomena kesurupan.
Dahulu,
sekitar tahun 1996-1997 pernah terbit buku antologi puisi Bari I dan Bari II
yang menjadi motor penggeraknya adalah Mas Willy Siswanto, dan sekarang beliau telah
membangun proses keseniannya di Provinsi Bangka Belitung. Harus saya katakan bahwa
antologi puisi Bari I dan II adalah sebuah pembelajaran proses kreatif bagi
calon para menulis puisi karena puisi-puisi didalamnya merupakan hasil filtrat
dari sayembara lomba penulisan puisi. Dan hebatnya pada waktu itu, buku
antologi puisi ini bersanding (katakanlah) para penyair senior dan penyair
pemula. Sebagai contoh didalam buku tersebut puisi-puisi Mas Willy Siswanto yang sudah
diakui sebagai penyair sekelas Nasional mau bersanding dengan
puisi-puisi penyair muda yang beberapa nama diantaranya Siti Nurhasanah, Lilik bagus
Setiawan, Ipriansyah, Ermanovida, dan banyak lagi. Sehingga kualitas
serta kuantitas ada didalamnya dan benar-benar menjadi sebuah peristiwa
pembelajaran proses kreatif. Tetapi sekarang, kedua antologi yang pernah
diterbitkan oleh Komunitas Pengarang dan Penyair Muda itu telah menjadi
artefak.
Saat ini tidak
saya temui lagi peristiwa-peristiwa limit
afiliasi antar menyair, tapi yang ada adalah peristiwa learning minor, yang para tetua penyair sudah
memposisikan diri sebagai mentor kambuhan. Padahal kualitas mereka jauh dari
kata sempurna, situasi ini membuat citra kreativitas kepenyairan makin tidak
terdengar.
Dua
Kondisi
sekarang ini telah mengarah pada interaksi
minor, gayung yang patah malah terlepas. Saya tidak
bermaksud mengandaikan sebuah pepatah yang tua menyayangi yang muda, dan yang
muda menghormati yang tua. Ternyata kondisi telah berkata bahwa pepatah ini
telah terpotong menjadi yang muda harus menghormati yang tua..cih.
Banyak nama
penyair senior kita (saya malas menyebutkan mana-nama mereka, karena membuat
perut saya mual) seperti suhu bagi calon penyair. Terlihat dibeberapa
peristiwa budaya mereka hanya menjadi komentator kesenian dan tidak pernah
memposisikan diri sama dengan penulis-penulis muda. Ingat saudara-saudara rumah
penyair menurut Rendra adalah di Matahari dan Cakrawala, bukannya membuat pertemuan-pertemuan di rumah makan mahal dan
kafe mewah dan hanya berkomentar di surat kabar atau selalu tampil
ditelevisi atau hanya sebagai juri lomba baca puisi. Yang paling
memalukan menurut saya, salah satu dari mentor seniman kita pernah berteriak
lantang didepan Gubernur disebuah acara penghargaan seni (hotel mewah pula..)
tanpa melihat kondisi dan situasional. Padahal seorang seniman tidaklah harus
melupakan keanggunan bertindak dan berkata-kata, walau harus melawan sekalipun.
Kalian tidak pernah berkaca pada Wiji Tukul yang memberi contoh bagi kita
tentang cara melawan yang berapi-api, juga
bagaimana menggunakan pena dan kata-kata sebagai senjata.
Saudara
sekalian juga harus ingat, syarat seorang seniman adalah karya, dan syarat seorang
seniman itu diakui adalah produktifitas dan kualitas serta kebesaran hati untuk
menghargai karya orang lain tanpa harus menjadi menara gading. Bahkan kondisi
ini diperparah dengan sedikitnya kolom sastra dimedia-media cetak yang ada.
Kalaupun ada, sang pujangga hanya itu-itu saja dan ditambah lagi tabiat genetik
yang malas membaca.
Mari,
biasakan berproses untuk sebuah karya. Hal yang paling mendasar dalam sebuah karya
kepenyairan adalah kepekaan, dan dalam menentukan kualitas karya itu sendiri adalah
kejujuran.
Dalam sebuah
proses kesenian, kita mengetahui bagaimana sosok Gunawan Mohammad menghargai
seorang Ayu Utami, betapa sayangnya sosok Stefani Hidayat kepada seorang Sitok,
dan lebih hebat lagi seorang Bob Tutupoli mau bernyanyi bersama
dengan grup band La Luna.
Saya
mengakui saudara-saudara sekalian sebagai seniman yang pernah berkarya, tapi
memposisikan diri selain pergaulan seniman atau yang baru seniman itu sangat
tragis dan sangat-sangat salah. Lebih baik kita bersama belajar menghargai
orang lain.
Lorok Pakjo, 13
Februari 2009-Juni 2012
.penulis adalah guru dan penyair
0 comments:
Posting Komentar