(Part II)
Pada hari ketika
Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia
mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas
tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak
hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut
surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak
menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun
masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang,
ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Majnun berdiri di
pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya,
mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung
kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang
wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan
putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal.
Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah
jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi
mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang
terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi
peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya.
Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan
sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak
hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain,
sungguh ia salah besar. Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah
Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk
anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke
desa Laila.
Sang tamu pun
disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang
tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata,
"Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi
kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”. Anak lelakiku mencintai anak
perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup
banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan.
Mendengar hal
itu, ayah Laila pun menjawab, "Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya
kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat," jawab ayah Laila.
"Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati
dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti
seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama
hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan kawan, jika engkau punya
anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak
perempuanmu kepada anakku?"
Ayah Qais tak
dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan
utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas
dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan,
sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar
ucapan bermakna dari Majnun. "Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat
anakku menghancurkan dirinya sendiri," pikirnya. "Aku harus melakukan
sesuatu."
Ketika ayah
Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam
untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik
di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari
Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan
tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis
itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki
Laila.
Seorang gadis
mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut
panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun,
tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada
seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah
kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta
menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai
air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku
kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh
ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan
agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa
Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk
menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia
mohonkan? "Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang
menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah
cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku
tetap hidup." Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia
lakukan untuk anaknya.
Usai menunaikan
ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya,
pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya.
Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua
yang terasing
dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang
mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya
untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan
bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang
ditelan bumi.
0 comments:
Posting Komentar