Oleh: Mohammad Arfani
Sebelumnya, alasan saya memberikan pada judul artikel ini sebagai ‘Objektifitas
Imajinatif...?’ dalam tanda tanya, karena banyak sekali (karena sering saya
temui) mempermasalahkan apresiasi yang bolehlah dikatakan mana yang lebih baik
dalam menilai suatu pertunjukan teater. Hingga ‘tukang’ teater perlu untuk menafsirkan
bentuk pertunjukan yang sebenarnya. Tanpa harus memaksa, mari kita kembali pada
bangunan teater tersebut pada bentuk semula.
Konsep awal dalam suatu pertunjukan teater adalah
perwujutan segala bentuk aksi manusia dan ekspresinya kepanggung, dalam bentuk
apapun serta dari sudut pandang manapun. Segala bentuk tematik tentang manusia
itu sendiri sangat banyak macam ragamnya, setiap manusia antar individu,
kelompok, menjadi suatu masyarakat mempunyai tujuan dan masalahnya. Dari satu
bentuk sudut pandang yang dilihat oleh seniman teater yang kemudian diwujudkan
menjadi pementasan.
Realita yang ada membangun ide kreatifitas dalam bentuk
apapun. Perlu dingat kembali, Realitas teater adalah realitas ambang. Ambang adalah suatu tempat atau benda yang
memberi peluang kepada kita untuk melihat arah dari sudut manapun.
Manusia sebagai objek merupakan sumber tematik dari
berbagai sisi kehidupan, karena manusia itu sendiri melakukan aktivitas dan
tujuan atas dasar keinginannya dan segala hal yang menjadi tragedi manusia itu
sendiri, yang kemudian seniman teater mendeskripsikan dalan bentuk teks drama
hingga membuatnya dalam bangunan berupa pentas panggung. Adalah manusia itu
sendiri yang menjadi bentuk kenyataan dalam mengembangkan tema sesungguhnya
hingga menjadi kreatifitas yang sesungguhnya dalam berbagai bentuk masalah kenusiaan,
menjadikan kotak yang bernama teater ini berkembang seiring maju pesatnya
kemanusiaan itu sendiri dengan menonjolkan nilai kemanusiaan melalui setiap
perjalanan adengan mengarahkan kita kepada berbagai bentuk permasalahan dan
nilai-nilai kemanusiaan atas segala bentuk naratif dan apapun bentuk inspirasi
didalamnya.
Sebagai contoh saat menonton salah satu karya Samuel
Beckett Malam dan Mimpinya, kita disuguhkan
hanya suara-suara, penataan efek lighting dan durasi yang hanya sekilas. Atau
karya William Shakespare Romeo and Juliet
yang berhamburan kalimat-kalimat puitis. Dua
contoh karya tersebut menunjukkan kutub teater yang berbeda tetapi
masing-masing menimbulkan efek apresiasi yang dinamis dari banyak sudut
pandang.
Hal yang paling penting dalam sebuah karya teater
adalah kepekaan terhadap berbagai kejadian yang ada. Alam dan manusia sebagai
sumber infiltrasi atas suatu objek teater. Seorang teaterawan sebagai kreator
merenungkan dan berfikir atas sumber ide yang ada, kemudian mewujudkannya ke pentas.
Gagasan bentuk pementasan teater adalah hasil dari dunia imajiner teaterawan
yang berawal dari deskripsi humanitas. Sehingga pada pemahaman lain terhadap
teater sebagai komunikasi atas realitas dan imajinernya menjadi medium dalam
menyampaikan pesan yang berupa nilai. Karena penyajian pementasan tanpa nilai
bukanlah teater.
Tidaklah penting memandang suatu pentas teater berdasarkan bentuk isme yang ada. Karena teater adalah kemerdekaan kreator dan
apresiator dalam berekspresi dan menilai.
Yang perlu digaris bawahi adalah nilai kualitas karya teater dilihat
dari kejujuran teaterawan itu sendiri dan interpretasi apresiator (penonton) dari
berbagai ruang dan banyak ‘pintu’ intelektual terhadap karya teater yang telah
disaksikan secara utuh.
Palembang, 24 juli 2012
0 comments:
Posting Komentar