Minggu, 12 Agustus 2012

REQUEM KEPENYAIRAN ‘WONG KITO’

Oleh Mohammad Arfani

(224) dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat (225)Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara ditiap lembah (226)Dan bahwasanya mereka suka mengatakan  apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)? (227)Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapatkan kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali

(QS. Asy Syu’ara. 224-227)


Satu
Sebenarnya judul artikel ini adalah penyair (sudah) mati, tapi untuk sopan-sopanan maka terukirlah judul diatas. Sebuah kondisi yang pahit bahwa wong kito sepi penyair-penyair muda. Fenomena ini seakan terkondisi karena banyak penyair-penyair muda yang berproses kurang matang di dunia kepanyairan atau mereka malas berkarya juga diangkat kepermukaan. Sungguh, ketika saya berbincang-bincang dengan salah seorang  teman seniman yang sempat berproses di Yogyakarta selama lima belas tahun dan pulang kampung’ mengeluhkan kondisi ini (termasuk saya), dan akhir dari pembicaraan kami mengerucut pada kepenyairan bahkan kesenimanan telah berada di menara gading, hanya cahaya di mercusuar. Dan fenomena ini setingkat dengan salah satu fenomena alam yang sangat saya benci..yaitu fenomena kesurupan.

Dahulu, sekitar tahun 1996-1997 pernah terbit buku antologi puisi Bari I dan Bari II yang menjadi motor penggeraknya adalah Mas Willy Siswanto, dan sekarang beliau telah membangun proses keseniannya di Provinsi Bangka Belitung. Harus saya katakan bahwa antologi puisi Bari I dan II adalah sebuah pembelajaran proses kreatif bagi calon para menulis puisi karena puisi-puisi didalamnya merupakan hasil filtrat dari sayembara lomba penulisan puisi. Dan hebatnya pada waktu itu, buku antologi puisi ini bersanding (katakanlah) para penyair senior dan penyair pemula. Sebagai contoh didalam buku tersebut puisi-puisi Mas Willy Siswanto yang sudah diakui sebagai penyair sekelas Nasional mau bersanding dengan puisi-puisi penyair muda yang beberapa nama diantaranya Siti Nurhasanah, Lilik bagus Setiawan, Ipriansyah, Ermanovida, dan banyak lagi. Sehingga kualitas serta kuantitas ada didalamnya dan benar-benar menjadi sebuah peristiwa pembelajaran proses kreatif. Tetapi sekarang, kedua antologi yang pernah diterbitkan oleh Komunitas Pengarang dan Penyair Muda itu telah menjadi artefak.

Saat ini tidak saya temui lagi peristiwa-peristiwa limit afiliasi  antar menyair, tapi yang ada adalah peristiwa learning minor, yang para tetua penyair sudah memposisikan diri sebagai mentor kambuhan. Padahal kualitas mereka jauh dari kata sempurna, situasi ini membuat citra kreativitas kepenyairan makin tidak terdengar.

Dua
Kondisi sekarang ini telah mengarah pada interaksi minor, gayung yang patah malah terlepas. Saya tidak bermaksud mengandaikan sebuah pepatah yang tua menyayangi yang muda, dan yang muda menghormati yang tua. Ternyata kondisi telah berkata bahwa pepatah ini telah terpotong menjadi  yang muda harus menghormati yang tua..cih.

Banyak nama penyair senior kita (saya malas menyebutkan mana-nama mereka, karena membuat perut saya mual) seperti suhu bagi calon penyair. Terlihat dibeberapa peristiwa budaya mereka hanya menjadi komentator kesenian dan tidak pernah memposisikan diri sama dengan penulis-penulis muda. Ingat saudara-saudara rumah penyair menurut Rendra adalah di Matahari dan Cakrawala, bukannya membuat pertemuan-pertemuan di rumah makan mahal dan kafe mewah dan hanya berkomentar di surat kabar atau selalu  tampil ditelevisi atau hanya sebagai juri lomba baca puisi. Yang paling memalukan menurut saya, salah satu dari mentor seniman kita pernah berteriak lantang didepan Gubernur disebuah acara penghargaan seni (hotel mewah pula..) tanpa melihat kondisi dan situasional. Padahal seorang seniman tidaklah harus melupakan keanggunan bertindak dan berkata-kata, walau harus melawan sekalipun. Kalian tidak pernah berkaca pada Wiji Tukul yang memberi contoh bagi kita tentang cara melawan yang berapi-api, juga  bagaimana menggunakan pena dan kata-kata sebagai senjata.

Saudara sekalian juga harus ingat, syarat seorang seniman adalah karya, dan syarat seorang seniman itu diakui adalah produktifitas dan kualitas serta kebesaran hati untuk menghargai karya orang lain tanpa harus menjadi menara gading. Bahkan kondisi ini diperparah dengan sedikitnya kolom sastra dimedia-media cetak yang ada. Kalaupun ada, sang pujangga hanya itu-itu saja dan ditambah lagi tabiat genetik yang malas membaca.

Mari, biasakan berproses untuk sebuah karya. Hal yang paling mendasar dalam sebuah karya kepenyairan adalah kepekaan, dan dalam menentukan kualitas karya itu sendiri adalah kejujuran.

Dalam sebuah proses kesenian, kita mengetahui bagaimana sosok Gunawan Mohammad menghargai seorang Ayu Utami, betapa sayangnya sosok Stefani Hidayat kepada seorang Sitok, dan lebih hebat lagi seorang Bob Tutupoli mau bernyanyi bersama dengan grup band La Luna.

Saya mengakui saudara-saudara sekalian sebagai seniman yang pernah berkarya, tapi memposisikan diri selain pergaulan seniman atau yang baru seniman itu sangat tragis dan sangat-sangat salah. Lebih baik kita bersama belajar menghargai orang lain.

Lorok Pakjo, 13 Februari 2009-Juni 2012
.penulis adalah guru dan penyair


0 comments:

Posting Komentar