(Part I)
Alkisah, seorang
kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan
orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa
itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika
semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua
bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan
anugerah kepada mereka berdua. "Mengapa tidak?" jawab sang kepala
suku. "Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali
lagi, tak ada ruginya."
Mereka pun
bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka.
"Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami
merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung
jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada
kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami."
Tak lama
kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak
laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais
dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang
menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telah memperlihatkan
kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam
mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika sudah
cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah
yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa
anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang
di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka
ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata
indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena
alasan inilah mereka menyebutnya Laila-"Sang Malam". Meski ia baru
berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi,
sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar
pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais
adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling
tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan
ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah
bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu.
Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya
menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi
mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik
Qais dan Laila. Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit,
orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai
terdengar.
Di zaman itu,
tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah
pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar
bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah.
Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar. Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais
menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri
jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia
menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara
tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila
mereka bertanya tentang Laila.
Orang-orang pun
tertawa dan berkata, " Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang
majnun, gila!" Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”.
Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak
tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu
bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana
menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai
Majnun.
Majnun menemukan
sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk
dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun dudukduduk di depan
gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa
itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun
merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia
menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta
memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia menghirup
angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat
yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya
seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing
itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya
dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan
berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila
demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali.
Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara
kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian
terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad
membantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik.
Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai
wanita.
Dengan mudah
mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke
pintu kamarnya. Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar
berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun
kecuali memikirkan Qais. Yang cukup
mengherankan,
setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus
semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara
Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau
sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah
berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya,
tentang cintanya.
Bersambung…
salam kenal dan salam sendratasik
saya rien sekedar blogwalking ini :)
nah mano sambungannyo ini kak ?
blog yang menarik.
lanjutkan kak haha